"Misalnya, penghasilan perusahaan tambang bisa mencapai Rp 50 miliar, tetapi mereka hanya menyiapkan dana jamrek sekitar Rp 200 juta. Ini sangat tidak seimbang," tambah Samsun.
Samsun menegaskan bahwa biaya untuk memulihkan lingkungan setelah penambangan, terutama dalam menutup lubang tambang, sangat besar, bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.
"Untuk menutup lubang tambang, biayanya sangat besar. Jika jamrek hanya Rp 200 juta, perusahaan cenderung mengabaikan tanggung jawabnya karena biaya untuk memperbaiki kerusakan lingkungan jauh lebih besar," jelasnya.
Oleh karena itu, Samsun mendesak agar regulasi mengenai jamrek segera direvisi.
Ia mengusulkan agar jumlah jamrek dinaikkan minimal 50 persen dari potensi penghasilan perusahaan tambang, guna menciptakan keseimbangan antara kewajiban perusahaan dan kemampuannya dalam melakukan reklamasi. (adv/dprdkaltim)