Dari dua pendekatan itu, menurut Reza, masuk akal jika Prabowo, dengan usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang jauh dari prima, melakukan pendekatan serupa guna mempengaruhi persepsi publik.
"No problem. Setiap kontestan Pilpres boleh bikin siasatnya masing-masing," ujar sarjana Psikologi itu.
Namun, lanjut dia, Trump dan Yeltsin bergoyang asyik cuma di saat berada di panggung dan ketika musik mengalun. Itu pun hanya satu-dua kali.
Keduanya tidak menjadikan joget sebagai strategi branding yang dipertontonkan terus menerus.
Reza berpandangan pada titik tersebut joget gemoy Prabowo tampak bermasalah.
"Prabowo joget terlalu sering. Tanpa musik pula dan seperti tak kenal situasi. Saat ditanya hal serius, tanpa jawaban tuntas, Prabowo justru "menggenapi" jawabannya dengan berjoget," paparnya.
Reza menyampaikan, joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara, ditambah pernyataan-pernyataan Prabowo yang serba mengambang dan terputus, itulah yang membuatnya waswas akan satu hal, yaitu executive functioning Prabowo.