"Isu yang muncul sebenarnya klasik dan tidak luar biasa. Intinya adalah bahwa negara, atau pemerintah, akan mempolisikan siapapun yang menghina presiden dan para pejabat pemerintah," kata SBY.
SBY beralasan itu klasik dan tak luar biasa karena kerap terjadi di sebuah negara--bahkan menganut sistem demokrasi--yang tengah berada dalam masa transisi, konsolidasi, atau memilki pranata hukum warisan kolonial.
"Yang menjadi luar biasa adalah kalau hukum-menghukum ini sungguh terjadi ketika kita tengah menghadapi ancaman korona yang serius saat ini," kata dia.
SBY memahami bahwa pemerintah saat ini sebenarnya juga mengalami tekanan psikologis. Ia menilai, pemerintah mungkin takut jika upaya mereka dalam menangani virus corona gagal dan tak mampu menyelamatkan rakyat. Ia juga berpandangan kemungkinan juga pemerintah takut kebijakannya disalahkan rakyat.
"Tanpa disadari, sebagian penguasa dan pejabat pemerintah menjadi sensitif. Menjadi kurang sabar dan tak tahan pula menghadapi kritik, apalagi hinaan dan cercaan," ujar SBY.
"Situasi seperti inilah yang bisa memunculkan 'benturan' antara elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi kalau sebelumnya sudah ada benih-benih ketidakcocokan dan ketidaksukaan," imbuh pensiunan jenderal TNI tersebut.
Namun, di sisi lain, SBY berharap agar masyarakat tak selalu menunjukkan sikap apriori terhadap apa yang telah dilakukan pemerintah. Masyarakat juga diminta untuk tidak terlalu cepat menuduh pemerintah sebagai tidak serius, bahkan tidak berbuat apa-apa dalam menangani corona.
"Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, termasuk keterbatasan keuangan negara, pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi wabah korona ini," tulis mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu.