Sebelumnya, sejumlah pihak mengkritik langkah Kapolri mengeluarkan surat telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020. Telegram itu berisi tentang penanganan perkara dan pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan peyebaran Covid-19.
Ada dua poin, yang masing-masing berisi lima dan tujuh subpoin. Pada poin 1c bertuliskan tentang bentuk pelanggaran 'penghinaan kepada penguasa/presiden dan pejabat pemerintah'. Untuk penanganannya, pada telegram tersebut ditulis bahwa Kapolri meminta menggunakan pasal 207 KUHP.
Isi pasal itu adalah: Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono menyatakan isi telegram itu ditujukan sebagai acuan bagi penyidik dalam melaksanakan tugasnya.
"Itu kan acuan saja untuk anggota reskrim (reserse kriminal)," kata Argo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu.
Dalam penerapannya, Argo menjelaskan surat telegram tersebut merupakan gambaran potensi kejahatan yang dapat timbul selama masa penanganan penyebaran covid-19 saat ini.
Selain itu, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis berdalih penegakan hukum itu memang tidak dapat memuaskan semua pihak, sehingga wajar untuk terjadi pro dan kontra. Dalam keterangan resminya, dia mengatakan terdapat mekanisme hukum lain yang dapat diajukan apabila seorang pihak merasa keberatan terhadap penindakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap suatu kasus atau perkara. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "SBY Minta Telegram Polri soal Penghina Presiden Dievaluasi"