Wakil Ketua DPRD Kaltim Tanggapi Sikap AORDA Terkait Protes Pergantian Pucuk Pimpinan Dewan
Jumat, 5 November 2021 10:26
IST
ÈPOLITIKAL.ID, SAMARINDA - Unsur pimpinan dewan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menanggapi pernyataan sikap Aliansi Pimpinan Ormas (AORDA) Kaltim terkait pergantian Ketua DPRD Kaltim. Dijelaskan Wakil Ketua DPRD Kaltim, Muhammad Samsun saat dikonfirmasi media ini, Juma'at (5/11/2021) mengatakan menyambut baik pernyataan sikap AORDA itu. "Saya dengar katanya mau audensi hari ini. Cuman kantor lagi kosong hari ini (Jum'at) rata - rata lagi dl (dinas luar). Mungkin hari Senin mau disampaikan," kata Samsun. Lanjut dia, pada prinsipnya politisi dari partai PDI P itu tetap mendengarkan aspirasi dari masyarakat. "Tentunya kami tetap mendengar," imbuhnya. Sebagaimana diketahui, dua wakil ketua dewan yakni, Muhammad Samsun serta Sigit Wibowo sudah termasuk 40 anggota dewan dari 55 wakil rakyat menyetujui pergatian Ketua DPRD dari Makmur HAPK kepada Hasanuddin Mas'ud. Terkait pergantian itu, Fraksi Gerindra memilih walkout dan tidak campur tangan dengan pergantian itu dengan alasan belum ada kekuatan hukum tetap dari PN Samarinda. Dimana Makmur HAPK sudah mendaftarkan gugatan. Ditanya apakah ada celah untuk meninjau kesepakatan politik di dewan tentang pergantian tersebut dicabut. Wakil rakyat dapil Kukar tersebut menegaskan keputusan bersama itu sudah final. "Kalau mekanisme paripurna udah bener enggak bisa digugurkan," imbuh dia. DPRD secara lembaga menurut tahapan memiliki waktu satu pekan sejak disepakatinya pergantian untuk diteruskan ke Kemendagri melalui Gubernur Kaltim. Kendati surat tersebut disampaikan Samsun, belum diteruskan ke Gubernur Kaltim, Isran Noor. "Kan nanti ada kajian dan konsultasi dengan mendagri kami dilakukan," terangnya. Diwartakan sebelumnya, Aliansi Pimpinan Ormas Daerah (AOARDA) melalui Ketua umumnya, Mohammad Djailani dalam sikapnya menyampaikan, rapat paripurna yang digelar pada tanggal 2 November 2021 kemarin tidak sah. Pasalnya, rapat paripurna yang memutuskan pergantian Makmur HAPK ke Hasanuddin Mas’ud hanya mengakomodir ambisi kelompok tertentu. “Gugatan saat ini masih dalam proses di pengadilan negeri Samarinda. Bahkan nomor gugatannya pun sudah ada,” ungkap Djalani sapaan akrabnya, Kamis (4/11/2021). Lanjut ia menambahkan. “Gugatan itu juga belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap, tapi dewan ni sudah memutuskan untuk pergantian,” sambungnya. Atas dasar itu, Djailani menyampaikan agar pimpinan daerah dalam hal ini yakni, gubernur Kaltim harus bijak dalam mengambil keputusan. Pasalnya, usulan pergantian ketua DPRD Kaltim nantinya akan diteruskan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui orang penting di Kaltim itu. “Jadi, kami minta kepada Gubernur Kaltim, dan juga Mendagri untuk tidak memproses dan menindaklanjuti pengusulan pergantian ketua DPRD Kaltim sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap (Inkracht),” jelasnya. Djailani juga menegaskan hingga saat ini Makmur HAPK masih menjadi Ketua DPRD Kaltim yang sah. Dengan itu pula melekat seluruh kewajiban dan hak-hak kepada Makmur HAPK. Ia sampaikan, hal ini perlu dilakukan agar memberikan pelajaran politik dan hukum yang baik kepada masyarakat. "Agar, sebuah lembaga bisa melakukan proses sesuai dengan aturan yang ada. DPRD sebaiknya memberikan contoh yang baik bagaimana memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum," imbuhnya. Sementara itu sebelumnya, Akademisi Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menganggap bahwa keputusan paripurna untuk melanjutkan proses pergantian ketua DPRD itu, pertanda politik lebih dominan dibanding hukum. "Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum?," ujar Castro, Rabu (3/11/2021). Menurut dosen Fakultas Hukum Unmul itu lagi, sifat putusan mahkamah partai itu kan tidak final dan mengikat, jadi tidak bisa diproses sebelum berkekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan. Satu-satunya putusan partai yang final dan mengikat adalah soal kepengurusan sebagaimana disebut di Pasal 32 ayat (5) UU 2/2011. Jadi selama masih ada upaya hukum yang dilalukan pihak yang keberatan dengan putusan mahkamah partai, maka putusan itu belum bisa dieksekusi," "Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik," sambungnya. Pria yang kerap disapa Castro menjelaskan contoh kongkritnya kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS di DPR-RI, atau kasus Viani Limardi yang dipecat PSI di DPRD DKI. Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear. "Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan. Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah iman-nya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya," pungkasnya. Sebagaimana diketahui, sebelumnya bentrokan antar kubu Makmur HAPK dan Golkar Kaltim beberapa bulan lalu terjadi. Massa pendukung Makmur yang menolak PAw melakukan aksi damai dengan berorasi. Massa yang berkumpul di dalam pagar kantor Golkar Jalan Mulawarman Samarinda merangsek dan mengejar pendukung Makmur sebelum baku hantam terjadi. Polisi yang berjaga tak bisa berbuat banyak lantaran jumlah massa sipil di lapangan lebih banyak dibandingkan aparat. (*)
Berita terkait