POLITIKAL.ID - Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur mengadakan sebuah diskusi dengan tema "Pilkada Kaltim dan Arah Krisis Ekologis", yang membahas keterkaitan antara proses Pilkada dengan masalah krisis lingkungan yang semakin mendalam di provinsi ini.
Acara ini berlangsung di Teras Samarinda, Jalan Gajah Mada, pada Jum’at (15/11/2024)
Diskusi ini dihadiri oleh berbagai narasumber yang memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan, di antaranya Fajar Alam, pemerhati lingkungan dari Unit Kajian Kebumian dan Konservasi Lingkungan UMKT, Maulana Yudhistira, penggiat pangan lokal dan lingkungan, serta Yudi Syaputra dari Walhi Kaltim.
Maulana Yudhistira, seorang penggiat pangan lokal dan lingkungan, dalam diskusinya menyampaikan betapa besar dampak industri ekstraktif terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat Kalimantan Timur.
"Hampir semua sisi tatanan sosial budaya bahkan nyawa masyarakat dianggap tidak penting. Saya mulai mengenal industri ekstraktif sejak kecil, ketika Sungai Mahakam masih penuh dengan kayu yang dihanyutkan. Namun, kini yang ada adalah kapal-kapal tambang yang semakin merusak lingkungan,”ujarnya.
Menurut Yudhistira, industri tambang yang berkembang pesat di Kalimantan Timur memberikan dampak yang luar biasa besar bagi lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
“Sungai Mahakam, yang dulunya menjadi sumber kehidupan bagi banyak orang, kini hanya melahirkan konglomerat, sementara masyarakat sekitar semakin terpinggirkan," ungkapnya.
Ia juga mengatakan banjir yang semakin parah di Mahakam Ulu, yang di anggap sebagai dampak dari eksploitasi industri ekstraktif yang tidak terkendali.
"Industri ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga memecah belah masyarakat. Pro-kontra antara mereka yang pro terhadap industri dan mereka yang menolak terus terjadi, menciptakan ketidakharmonisan di berbagai wilayah," tuturnya.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap masa depan Kalimantan Timur yang semakin sulit dipulihkan akibat kerusakan ekologis yang terus berlanjut.
Sementara itu, Yudhistira, Fajar Alam, pemerhati lingkungan dari UMKT, mengingatkan bahwa tambang terbuka yang marak diterapkan saat ini jauh lebih merusak dibandingkan dengan tambang dalam yang digunakan di masa lalu.
"Di masa lalu penambangan galian menggunakan metode tambang dalam yang dampaknya lebih kecil. Namun, dengan tambang terbuka, hampir seluruh lapisan tanah dan alam yang ada harus digali dan dihancurkan," jelasnya.
Menurutnya, kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang terbuka sangat besar, dan jika reklamasi tidak dilaksanakan dengan benar, akan meninggalkan bekas kerusakan yang sangat sulit diperbaiki.
"Di Samarinda kita sudah lama menjadi kota tambang meskipun kita tidak menyadarinya. Kita sering tidak melihat dampak kerusakan yang terjadi akibat tambang ini," tuturnya.
Ia juga mengatakan janji-janji yang sering kali tidak ditepati oleh perusahaan tambang, terutama dalam hal reklamasi lahan bekas tambang.
"Di Tenggarong Seberang, misalnya, beberapa desa masih mampu memproduksi beras sendiri, namun sebagian besar wilayah telah dijadikan tambang batu bara yang menghilangkan kebiasaan lama masyarakat bertani,"ucapnya.
Pentingnya peran pemimpin daerah yang peduli terhadap masalah ekologis juga menjadi pembahasan diskusi ini.Yudhistira menekankan bahwa calon pemimpin Kalimantan Timur harus memiliki visi yang jelas tentang pemulihan lingkungan dan ekonomi.
"Kami butuh masyarakat yang berani bersuara tentang isu lingkungan ini. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam cengkraman industri ekstraktif yang merusak segalanya," tegasnya.
(tim redaksi)