Ini karena belum ada pasal pada UU yang menjelaskan definisi penodaan dan penistaan agama.
"Apa yang dianggap publik sebagai penodaan agama sangat berpengaruh dengan tafsiran publik, bukan hanya teks hukum. Karena tidak ada penjelasannya," ungkapnya di kesempatan yang sama.
Hal ini mengakibatkan delik penodaan dan penistaan agama dapat digunakan untuk menyasar siapapun tanpa restriksi yang jelas.
Implementasi dari pasal penodaan dan penistaan agama pun kerap disamakan.
Padahal menurutnya hal ini tak bisa dilakukan pada hukum pidana secara teori.
Dalam kurun waktu Mei Januari 2010 sampai Mei 2020, YLBHI menerima 38 kasus penodaan dan penistaan agama.
Dari jumlah tersebut didapati dua kasus dengan pelaku berusia kurang dari 18 tahun.
Salah satu kasus di antaranya menjerat lima orang tersangka, dimana tiga dari lima tersangka berusia 14 tahun sampai 16 tahun.
Kemudian enam kasus lain ditemukan menjerat pelaku berusia 18 sampai 21 tahun.
Rinciannya dua orang berusia 18 tahun, dua orang 19 tahun, dua orang 20 tahun dan dua orang 21 tahun.
Asfinawati mengatakan semua pelaku pada kasus tersebut disangkakan dengan UU No. 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Ini mengerikan sebetulnya, karena penodaan agama menyasar anak berusia di bawah 18 tahun. Dan tidak ada ampun. Orang yang disangkakan penodaan agama itu sulit keluar," katanya.
UU ITE merupakan salah satu pasal yang kerap digunakan dalam kasus penodaan agama.
Begitu juga dengan Pasal 156a KUHP.
Sedangkan UU Organisasi Kemasyarakatan digunakan dalam kasus penistaan agama.