POLITIKAL.ID - Edi Damansyah berpotensi melanggar administrasi Pemilihan Umum (Pemilu) jika nekat maju di Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) 2024.
Pasalnya, Edi Damansyah sudah pernah menjabat sebagai Pelaksana Bupati Kukar (Plt) atau Penjabat Sementara (Pj) selama 10 bulan 3 hari dan kemudian dilantik menjadi Bupati definitif selama 2 tahun 9 hari.
Itu Artinya Edi Damansyah telah menjabat sebagai Bupati Kukar, baik sebagai Plt maupun definitif sudah lebih dari 2 setengah tahun menjabat pada periode pertamanya, sebelum terpilih kembali pada periode keduanya.
Dengan demikian, Edi Damansyah bisa dipastikan tidak dapat kembali mencalonkan diri di Pilkada Kukar 2024.
Hal itu sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 8 tahun 2024.
Dalam PKPU tersebut, pasal 19 point c mengatakan, bahwa masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.
PKPU No. 8 tahun 2024 telah disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Supratman Andi Agtas, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Plh. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Togap Simangunsong, Ketua KPU RI, Mochammad Affifudin, Plh Ketua Bawaslu RI, Puadi, serta Ketua DKPP RI, Heddy Lugito.
Berikut bunyi PKPU No. 8 tahun 2024 pasal 19 yang mengatur tentang pencalonan kepala daerah petahana.
"Syarat belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) huruf m dengan ketentuan:
a. jabatan yang sama yaitu jabatan gubernur dengan gubernur, wakil gubernur dengan wakil gubernur, jabatan bupati/wali kota dengan wakil bupati/wali kota:
b. masa jabatan yaitu: selama 5 (tahun) penuh, dan atau paling singkat selama 2 setengah tahun.
c. masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.
d. 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama meliputi:
1. telah dua kali berturut-turut dalam jabatan yang sama.
2. Telah 2 (dua) kali dengan jabatan yang sama tidak berturut turut, atau
3. Telah 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama atau di daerah yang berbeda
e. Penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan," demikian bunyi PKPU No. 8 tahun 2024 pasal 19.
Pelantikan Edi Damansyah Sebagai Bupati Kukar
Sebagaimana diketahui, pada 10 Oktober 2017, Gubernur Kaltim Awang Faroek melantik Edi Damansyah sebagai Plt Bupati Kukar menggantikan Rita Widyasari yang tersandung kasus korupsi.
Pelantikan itu berlangsung di Pendopo Lamin Etam.
Meski berstatus sebagai plt, Edi waktu itu optimis roda pemerintahan di Kukar akan tetap berjalan sesuai aturan dan prosedur yang berlaku.
Senada dengan pendapat Edi, Awang Faroek juga menyebut, bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara status Plt dan bupati definitif.
“Mendagri menyampaikan, sesuai undang-undang maka pelaksana tugas bupati tidak ada bedanya dengan bupati definitif,” ucap Awang.
Kemudian Edi Damansyah terpilih kembali menjadi Bupati Kukar pada Pilkada 2019.
Ia kemudian dilantik oleh Gubernur Kaltim Isran Noor kala itu.
Dalam pelantikan itu, Isran Noor menyebut Edy Damansyah merupakan satu satunya bupati yang dilantik sebanyak 4 kali dalam masa jabatannya.
"Sebanyak tiga kali dilantik sebagai Plt dan Pj, pelantikan ke 4 menjadi Bupati Definitif," ujar Isran Noor.
Pengamat Unmul Soroti Pilkada Kukar 2024
Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara diminta agar ketat dan taat pada proses verifikasi administrasi kandidat pasangan calon Pilkada Kukar 2024.
Mengingat bakal calon (bacalon) Bupati Kutai Kartanegara yang juga petahana, Edi Damansyah masih berambisi daftar di Pilkada Kukar 2024.
Meski isu terganjalnya pencalonan Edi Damansyah pasca terbitnya PKPU Nomor 8 tahun 2024 tentang pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk Pilkada 2024 jadi sorotan publik.
Hal itu diungkapkan pengamat hukum yang juga akademisi di Universitas Mulawarman (UNMUL), Warkhatun Najidah S.H., M.H.
Ia menegaskan petahana di Pilkada Kukar 2024 punya potensi terganti dalam kontestasi politik, lantaran tidak memenuhi syarat.
Lebih lanjut, Najidah lewat pandangan hukum PKPU 8/2024 jelas mengikuti aturan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Frasa “menjabat” yang diperdebatkan selama ini dalam pandangan Najidah juga dijelaskan.
Ditambahkan lagi adanya aturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada KPU RI. Surat bernomor 100.2.1.3/3550/OTDA tertanggal 14 Mei 2024 tersebut memuat lima poin terkait periodisasi masa jabatan kepala daerah.
Lima poin dalam surat tersebut mempertegas pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dalam rapat bersama DPR RI belum lama ini, yang menegaskan frasa menjabat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tak membedakan jabatan sementara dan definitif.
“Sudah clear, bahwa menurut saya PKPU 8/2024 tentang pencalonan kepala daerah (pasal 14 dan pasal 19) jelas mengikuti putusan MK, di mana MK juga berpendapat bahwa berdasarkan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan kembali dalam putusan 67/PUU-XVIII/2020, makna kata ‘menjabat’ dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Artinya telah jelas dalam aturannya kan, bahwa belum memenuhi syarat,” jelas Najidah.
Dalam perspektif hukum untuk kembali maju pada Pilkada Kukar 2024, petahana tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam PKPU 8/2024 pasal 14 huruf m dan 19.
Memang benar Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah mengatur dengan membedakan antara Plt/PJS/Plh/Pj Kepala daerah.
Namun frasa dalam Undang-Undang (UU) Pilkada dan PKPU tersebut memfokuskan pada frasa “menjabat”.
Pemaknaan ini sudah klir menurut Najidah. Hanya merujuk pada “pejabat” tanpa dibedakan pejabat sementara atau definitif.
KPU juga harus mempertimbangkan bahwa subyek dari peraturan ini adalah “pejabat daerah“.
“Pertimbangan hukum bukan hanya bersandar pada UU Pilkada tetapi juga harus melihat pada UU Administrasi Pemerintahan,” tegas Najidah.
Pada pasal 1 angka 3 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Pada penjelasannya, yang dimaksud dengan pejabat yaitu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
Jelas pada hal ini pejabat dikatakan pejabat atau dikatakan menjabat adalah pada saat ia mulai menjalankan fungsi pemerintahan.
“Titik tekan pemaknaan adalah pada kata ‘unsur yang melaksanakan fungsi’. UU Pilkada mengatur sedemikian rupa terkait dengan syarat pencalonan tidak dimaksudkan untuk meniadakan hak dipilih seseorang sebagai hak konstitusional,” jelasnya.
“Tetapi justru menghindarkan pada kepemimpinan lokal yang bertumpu pada satu orang atau golongan dalam waktu yang lama,” sambung Najidah.
Waspada Lobi-lobi Politik di KPU
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta meminta KPU Pusat mengawasi upaya untuk meloloskan verifikasi administrasi bakal calon kepala daerah dalam Pilkada 2024.
“Agar tidak terjadinya dugaan lobi-lobi untuk meloloskan pasangan bakal baik gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota, maka harus ada pengawasan dari KPU Pusat,” terangnya dalam keterangan tertulis.
KPU harus bersikap tegas, terlebih lagi jika dalam proses verifikasi administrasi itu bisa terjadi kesalahan administrasi atau sengaja meloloskan bakal calon tertentu, penindakan tegas harus dilakukan demi mencegah kerusakan demokrasi.
Kaka juga menyampaikan semua pihak, mulai dari KPU hingga masyarakat mengawasi proses verifikasi administrasi, termasuk di Kukar.
“Kalau pasangan bakal calon tidak lolos verifikasi administrasi maka jangan diberikan ruang yang menimbulkan kerusakan demokrasi. Kita harus waspadai soal politik uang di pilkada Kaltim,” terangnya. (*)