POLITIKAL.ID - Berita Nasional yang dikutip POLITIKAL.ID tentang kesalahan dalam UU Ciptaker.
Undang-undang Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (2/11) malam kembali menuai kontroversi publik.
Pasalnya, bukan hanya jumlah halamannya, substansi dan isi pun terus berubah secara signifikan.
Bahkan kesalahan pengetikan atau typo juga ditemukan.
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKS, Suryadi JP berpandangan tentunya dapat diasumsikan bahwa suatu dokumen negara yang ditandatangani oleh Presiden RI sudah melalui proses pemeriksaan yang sangat ketat, apalagi dokumen tersebut berupa UU yang sudah pasti berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
"Namun demikian kenyataannya masih saja ditemukan banyak kesalahan dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini yang menyebabkan norma hukum menjadi tidak karuan," ujar Suryadi dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews, Rabu (4/11/2020).
Khusus terkait dengan isu di Komisi V DPR RI, Suryadi melanjutkan, sebelumnya telah ditemukan perubahan substansi akibat koreksi yang dilakukan Sekretariat Negara (Setneg) terkait pengaturan keterbangunan perumahan pada Pasal 50 UU Ciptaker angka 7 yang mengubah Pasal 42 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Dan setelah dilakukan penandatanganan oleh presiden, sambung politikus PKS ini, ditemukan kembali kesalahan lainnya yang dapat membingungkan stakeholder terkait yang terdampak UU ini, yaitu pada Pasal 50 UU Nomor 11 tahun 2020 angka 5 yang mengubah Pasal 36 UU Perumahan dan Permukiman, di mana pada ketentuan tersebut ditemukan adanya pengulangan norma yang serupa tapi sebetulnya tidak sama.
"Sehingga dapat menimbulkan kebingungan pada pihak yang terdampak terkait norma mana yang berlaku," terangnya.
Suryadi memaparkan, pada pengubahan tersebut, disebutkan bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (2) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman diubah menjadi seperti di bawah ini.
Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam:
a. bentuk rumah susun umum yang dibangun dalam satu hamparan yang sama;
b. bentuk dana untuk pembangunan rumah umum.
Sedangkan, kata dia, pengubahan pada Pasal 36 ayat (4) UU yang sama menyebutkan bahwa "Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam bentuk rumah susun umum".
Perbedaan kedua ketentuan tersebut dalam pasal yang sama, dapat menimbulkan kebingungan dalam implementasi penyediaan hunian berimbang berupa rumah susun umum apakah harus dalam satu hamparan atau tidak.
"Sebab jika diterapkan secara tidak adil, bisa saja pada pengusaha tertentu diberikan kebebasan dalam memilih lokasi dalam membangun hunian berimbang, sedangkan kepada pengusaha lainnya harus dalam satu hamparan yang tentunya dapat berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan," terang Suryadi.
Oleh karena itu, dia menambahkan, adanya temuan ini sekali lagi membuktikan bahwa UU Ciptaker yang baru saja diteken ini dibuat secara tergesa-gesa, hingga kemudian menimbulkan banyak pertentangan di dalam ketentuan-ketentuannya karena tidak sempat disinkronisasi dengan baik.
Sehingga hasilnya adalah sebuah undang-undang yang tidak berkualitas.
"Oleh sebab itu sudah sewajarnya apabila Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) guna membatalkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, karena substansinya dikhawatirkan dapat merugikan masyarakat," pungkasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di sindonews.com dengan judul "Fraksi PKS Kembali Temukan Pasal Membingungkan dalam UU Ciptaker"