POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Pemrov Kaltim merayakan hari jadinya yang ke 64 tahun.
Bak usia manusia yang telah dewasa merasakan asam garam kehidupan.
Sebagai lembaga penyelenggara pemerintah daerah, peran penting pemprov Kaltim sangat besar untuk menjalankan roda pemerintahan sekaligus ekonomi, sosial dan politik.
Dengan begitu, kinerjanya tak lepas dari perhatian masyarakat.
Salah satu masukan di Hari Ulang Tahun (HUT) Pemprov Kaltim datang dari NGO atau LSM non pemerintah, Kelompok Kerja (Pokja) 30, melalui Kordinatornya, Buyung Marajo.
Menurut Buyung sapaannya itu, kurun waktu dua tahun terakhir, pemprov Kaltim dipimpin Isran Noor sebagai Gubernur.
Bersamaan dengan itu pula, UU Cipta kerja nomor 11 tahun 2020 telah disahkan dan mendapat penolakan dari banyak pihak terlebih mahasiswa lantaran disebut-sebut melemahkan posisi pemerintah dan lebih mengakomodir kepentingan investor.
"Sebagai kepala daerah, gubernur Kaltim tidak bersuara tegas terhadap UU Omnibuslaw," ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (11/1/2021).
Hal itu disebutnya karena berdampak terhadap daerah dan penerimaan pendapatannya.
Seharusnya gubernur kata dia lagi, mesti melihat dirinya hanya sebatas administrasi atau formalitas belaka dan jauh dari kata desentralisasi kekuasaan untuk mengelola secara berdaulat untuk seluruh wilayahnya.
Kembali Buyung menjelaskan, dari evaluasi belanja 2020 pemrov Kaltim, belanja birokrasi lebih banyak dibanding belanja yang lainnya.
Namun hasilnya dari belanja itu digunakan untuk apa saja. Padahal menurutnya masyarakat sedang dilanda virus mematikan yakni, Covid-19 yang berdampak pada pembatasan gerak masyarakat.
Padahal soal penanggulangan covid - 19 sudah ada bantuan dan talangan tersendiri dari pusat berdasarkan refucusing pemda untuk masyarakat kaltim.
Selain itu penetapan pembatasan sosial jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan mengambang dan latah. Kendati Kaltim kasus jumlah kematiannya terbilang besar namun kurang tepat jika kebijakan langsung new normal, seharusnya bertahap sesuai situasi dan kondisi kekinian.
"Dana yang digelontorkan sebesar Rp 338 miliar penanganan covid - 19 belum ada laporan realisasi dan capaiannya," bebernya.
Selain itu persoalan yang menjadi perhatian lain adalah misalnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kaltim dan, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil (RZWP3K).
Cendrung kata dia, masyarakat disekitar pesisir utamanya nelayan Kaltim tidak dilibatkan dalam raperda tersebut. Hanya beberapa masyarakat dilibatkan itupun sebut Buyung sebagai formalitas, hanya dipilih pempov kaltim saja tanpa bisa memberikan solusi konkrit.
"Jadi raperda itu tidak melibatkan masyarakat terdampak dari produk kebijakan raperda zonasi pesisir, padahal nelayan sekarang ini jangkauan melaut harus lebih jauh untuk mendapatkan banyak hasil laut," bebernya.
Jangan sampai hanya sampai ganti rugi dan tanpa memikirkan keberlanjutan hidup nelayan selanjutnya yang bersandar dari hasil melaut untuk dijual ke pasar.
"Seharusnya kedaulatan untuk semua masyarak, namun yang ada tidak sesuai dari arah rpjmd kaltim itu sendiri," timpalnya lagi.
Persoalan lain yang banyak menyita perhatian dan sorotan publik adalah tidak ada upaya reklamasi lubang pasca tambang, padahal perusahan berkewajiban mereklamasi sesuai UU 23 2014 tentang Pemda.
Selain itu, regulasi daerah lain seperti Perda nomor 10 tahun 2012 soal jalan umum tidak bisa dilalui sawit dan batu bara. Namun kenyataannya kendaraan tambang tetap melalui jalan tersebut dan tidak ada penegakan dari aparat.
Beginilah jika kebijakan tidak melibatkan masyarakat terdampak, masalah pasti akan muncul akibat kebijakan publik Pemprov yang tidak partisipatif.
"Ada perda tidak dilakukan secara konsisten. Pengawasan dan evaluasi jadi sangat minimal," keluhnya.
Dengan begitu dirinya berharap kehendak politik Gubernur Kaltim lebih dapat mengintervensi persoalan tersebut lantaran sebagai kepala daerah dan bukannya tidak bersikap pasif.
Persoalan sampah, tambang, banjir tidak pernah selesai serta kerusakan lingkungan yang semakin masif mesti menjadi perhatian Gubernur Kaltim, Isran Noor memanajemen masalah di Kaltim dan kendali pemda kota maupun kabupaten.
"Seharusnya tinggal kehendak kepala daerah karena bertanggung jawab sesuai tingkatan pemerintahannya," pungkasnya. (001)