POLITIKAL.ID - Perdebatan terjadi antara Direktur Indobarometer M Qodari dengan Rocky Gerung dan Eep Safulloh, terkait faktor keunggulan telak Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 versi quick count.
Saling sanggah bernuansa panas ini terjadi dalam tayangan Rosi di Kompas TV, Kamis (15/2/2024).
Perdebatan bermula ketika M Qodari menjelaskan faktor tebalnya keunggulan Prabowo-Gibran, yang menurutnya berasal dari Silent Majority.
"Pasti ini suara rakyat ya, ini kan cuma suara-suara yang sulit menerima realitas," kata Qodari.
Qodari mengklaim sejak jauh-jauh hari telah mengatakan bahwa Pemilu 2024 ini akan berakhir dalam satu putaran.
Hal itu, kata Qodari berdasarkan kolam suara atau teori struktur suara.
Menurut Qodari pemilih di Pilpres 2024 terbagi dua, yakni kubu yang puas dengan kinerja Jokowi dan mereka yang tidak puas.
"Peluang bagi penantang atau oposisi yang ditempati Mas Anies kisaran angkanya sekitar 20an persen, ya kisaran angka yang tidak puas dengan Pak Jokowi," ujarnya.
Qodari menilai, suara yang puas dengan Jokowi, justru diperebutkan antara calon presiden (capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto dan capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo.
"Awalnya sama, pelan-pelan suara itu bergeser ke Prabowo, yang antara lain juga karena sebetulnya Mas Ganjar atau PDI Perjuangan banyak menyerang Pak Jokowi, sehingga pendukung Pak Jokowi bergeser ke Prabowo-Gibran," ungkap Qodari.
Ia mengaku tak menyangka angka keunggulan Prabowo-Gibran bisa mencapai 57-58 persen berdasarkan quick count.
Pasalnya, berdasarkan survei terakhir, dukungan untuk Prabowo sekitar 52 persen.
Fenomena tersebut menurut Qodari berasal dari Silent Majority yang menyatakan dukungannya pada Prabowo-Gibran saat di TPS.
"Di situ ada satu fenomena bahwa sebenarnya pendukung 02 ini adalah silent majority. Banyak pendukung 02 yang sebetulnya belum mengekspresikan pandangannya karena adanya act of terror dari tokoh-tokoh 01 atau 03, jadi mereka malas untuk menjawab itu," ujarnya.
"Menurut saya Pilpres 2024 yang angkanya 58 persen ini adalah karena pengaruh Silent Majority," ucapnya menambahkan.
Namun pendapat Qodari itu disanggah pembawa acara Rosiana Silalahi, yang menilai ada salah tafsir terkait Silent Majority.
"Anda tidak salah menafsirkan Silent of Majority adalah suara-suara yang tidak ingin terdengar karena takut akan kekuasaan?" tanya Rosi.
Qodari membela jawabannya dengan menganggap Silent Majority adalah mereka yang puas kepada Pak Jokowi yang suaranya tidak terdengar ke publik.
"Kalangan menengah ke bawah orang-orang yang relatif tidak punya akses ke media. Mereka bukan guru besar yang kalau pakai toga akan disorot media. Mereka tidak punya akses itu. Suara mereka gak kedengaran," kata Qodari.
Peneliti Indobarometer ini juga berpendapat Silent Majority selama ini diam karena teror dan tekanan dari kubu lawan yang menstigma buruk Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 ini.
"Teror pada hari ini justru datang dari fellow citizen yang mengatakan bahwa Anda itu tidak bermoral dan pilihan 02 tidak bermoral. Dan mereka membuktikan suara mereka pada 14 Februari itu," ujar Qodari.
Sementara itu, pengamat politik Rocky Gering tak sependapat dengan Qodari.
Rocky Gerung menilai Silent Majority adalah mereka yang diam tapi menghanyutkan.
Sedangkan penjelasan Qodari, kata Rocky Gerung, justru menjelaskan Silent Majority adalah mereka yang sengaja dihanyutkan.
"Jadi dia faktorial di dalam public oipinion. Tetapi yang Anda maksudkan tadi itu bukan Silent Majority, tapi dia diam karena dihanyutkan. Dihanyutkan oleh gegap gempita satu putaran, dihanyutkan oleh BLT, dihanyutkan oleh aparat, kan itu yang terjadi," kata Rocky Gerung.
Ia juga meminta Qodari berhati-hati dengan terminologi ini, mengingat penjelasannya tidak sesuai dengan realita di lapangan.
"Hati-hati, saya kira itu dusta bahwa Silent Majority itu diam yang menghanyutkan. Di dalam kasus ini dia diam karena dihanyutkan," tegas Rocky Gerung.
Menurut Rocky narasi film Dirty Vote semakin menegaskan Silent Majority yang dimaksud oleh Qodari.
"Jadi Dirty Vote yang dikendalikan diry hand, dirty hand yang diatur dirty mind yang dari MK dirty mind-nya bekerja," ujarnya.
"Saya mencurigai dari awal Silent Majority ini dimanipulasi menjadi mayoritas yang diam karena akan dihanyutkan oleh BLT, dihanyutkan oleh margin of terror. Akhirnya bawah sadarnya Qodari itu bisa kita pahami," tambah Rocky Gerung.
Perbedaan pendapat juga datang dari pendiri sekaligus pemimpin di PolMark Research Centre, Eep Saefulloh Fatah.
Ia memberikan analogi Silent Majority soal Pemilu di Amerika Serikat untuk menggambarkan yang terjadi di Indonesia.
Menurutnya ketika Donald Trump mengalahkan Hillary Clinton pada Pemilu 2016, di situlah peran Silent Majority.
"Betapa Trump itu sangat menakutkan bagi orang Amerika dari narasinya, dari cara dia berdebat, dari ketidaksopanan bahasa tubuhnya, dari cara dia melecehkan perempuan dan seterusnya, orang takut untuk mengatakan saya mendukung Trump. Ternayata tiba-tiba Silent Majority itu yang membuat Hillary kalah dari Trump," ungkap Eep Saefulloh Fatah.
Kemudian Eep menganggap situasi yang dihadapi Joe Biden saat memenangkan Pemilu Amerika Serikat terakhir, bukanlah Silent Majority.
Pasalnya dukungan Joe Biden datang dari publik figur seperti Jennifer Lopez dan Lebron James yang tiba-tiba ikut berpolitik.
"Mereka tidak silent, yang dilawan adalah orang yang tidak menyenangkan untuk didukung dan sedang berkuasa," ucapnya.
Iapun menegaskan Pilpres 2024 kali ini bukan faktor Silent Majority yang mempengaruhi keunggulan telak Prabowo-Gibran.
"Keadaan 2024 itu bukan Silent Majority, ini seperti Donald Trump yang menang. Kalau di sana itu Biden yang menang, ini Donald Trumpnya yang menang, namanya Joko Widodo, jadi namanya bukan Silent Majority," ungkap Eep Saefulloh Fatah.
Pada penghujung debat, Rosiana Silalahi menyatakan Silent Majority menurut Qodari itu masih penuh perdebatan.
Namun pendapat Qodari bisa dimaklumi, lantaran capres yang didukungnya telah menang Pilpres 2024 versi quick count.
"Kita tidak memiliki kesepakatan soal Silent Majority. Sementara Anda sendiri menyebut ini adalah Silent Majority padahal sesungguhnya dalam banyak literatur justru melawan kekuasaan. Tapi gak apa-apa kalau buat yang menang, beda pun gak apa-apa, bebas menganalisa teori baru," ujar Rosi.
(REDAKSI)