POLITIKAL.ID - Adanya penghapusan Batas Parlemen 4 persen oleh Mahkahmah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) dan pemerintah diminta untuk membuat kajian akademis dan rumus untuk menentukan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, mengatakan penghitungan besaran ambang batas parlemen mesti berdasarkan rumus dan proporsional agar suara rakyat terwakili.
“Yang jelas ada rumus menghitung yang diajukan Perludem,” kata Hadar saat dihubung pada (1/3/2024).
Pada Kamis, 29 Februari lalu, MK menetapkan penghapusan ketentuan ambang batas parlemen 4 persen untuk digunakan pada Pemilu 2029. Putusan MK meminta pembentuk undang-undang agar menetapkan angka ambang batas parlemen sebelum Pemilu 2024.
Putusan MK kemarin mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait ambang batas parlemen 4 persen. Perludem menyebut ambang batas 4 persen ini tidak berdasar dan mengakibatkan banyak suara sah terbuang.
Menurut Hadar, selama ini penetapan ambang batas parlemen 4 persen terdapat ketidakadilan terhadap calon legislatif yang memperoleh suara tertinggi di daerah pemilihan. Sebab, mereka tidak bakal mendapat kursi, meski mendapatkan suara tinggi karena partainya tidak lolos ambang batas. Alih-alih menyederhanakan jumlah partai, ambang batas parlemen justru mengebiri kepercayaan rakyat terhadap caleg tersebut.
Komisioner KPU 2012-2017 ini mengatakan ambang batas parlemen bukan satu-satunya cara menyederhanakan partai politik. Penyederhanaan partai, kata dia, bisa dilakukan apabila penyelenggara pemilu menerapkan verifikasi ketat.
“Keadilan itu lebih penting diangkat atau diprioritaskan daripada kemudian memperkecil jumlah partai tetapi dengan cara yang tidak adil,” kata Hadar.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mengatakan penyederhanaan partai bisa dilakukan dengan memperberat persyaratan administrasi peserta pemilu.
“Ini juga menjadi filter yang penting untuk mengantisipasi partai-partai ‘gurem’ itu lolos ke Senayan,” kata Neni.
Ia menuturkan persyaratan peserta pemilu bisa diperberat dengan memperbesar junlah kepengurusan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, bahkan sampai ke tingkat desa. Berkaca pada Pemilu 2024 atau sebelumnya, kata dia, persyaratan administrasi partai politik baru menjadi ruang gelap pemilu karena diloloskan meski tak memenuhi syarat.
Kendati demikian, Neni mengatakan ambang batas parlemen harus tetap ada dengan kajian akademis dan melihat kondisi geopolitik dan sosial budaya. Ia juga berharap besaran ambang batas tidak setinggi Pemilu 2019 dan 2024.
“Karena tingginya ambang batas parlemen itu juga berpotensi melanggar hak caleg itu sendiri yang memperoleh suara tertinggi di dapil, tetapi tidak bisa lolos karena partainya secara nasional tidak memenuhi ambang batas parlemen,” kata Neni.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu atau KIPP Indonesia, Kaka Suminta, merekomendasikan agar ambang batas parlemen nol persen. Sebab, kata Kaka, ambang batas menjadi penghalang peran masyarakat melalui partai politik.
“Nanti batasannya di mana? Batasannya adalah pada penegakan aturan,” kata Kaka.
Kaka mengungkapkan masalah saat ini ada pada implementasi tersebut yang tidak dilaksanakan dengan baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Misalnya, meloloskan partai politik yang seharusnya tidak lolos saat verifikasi.
“Artinya tinggal impelementasinya, bagaimana memverifikasinya dan KPU harus bekerja secara maksimal sehingga tidak lagi ada partai yang dinilai tidak layak lolos," tandas Kaka.
(Redaksi)