POLITIKAL.ID - Kasus pemerkosaan memang tidak diharapkan korban,terkadang penyelesaian dilakukan menikahkan korban dengan pelaku yang telah memperkosanya kerap kali menjadi jalan keluar atas kasus perkosaan yang terjadi. Pernikahan tetap dipaksakan walaupun korban terkadang menolak untuk dinikahkan.
Padahal, negara melarang setiap warga negara untuk melakukan pemaksaan pernikahan. Pemaksaan pernikahan merupakan perbuatan melanggar hukum yang dapat dijerat pidana.
Hukum Memaksakan Korban dan Pelaku Perkosaan Menikah Menikah merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara.
Hak untuk menikah diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 10 UU HAM menyatakan,
“1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ayat 2 dari pasal ini menegaskan bahwa pernikahan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak dari kedua calon pasangan yang bersangkutan dan bukan karena paksaan. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga menyatakan bahwa memaksakan korban perkosaan menikah dengan pelaku merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Pasal Pasal 10 Ayat 2 UU TPKS berbunyi, “Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1:
- perkawinan anak;
- pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya;
- atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Pelaku yang memaksakan perkawinan antara korban perkosaan dan pelakunya dapat dijerat hukuman pidana sebagaimana diatur dalam UU TPKS.
Sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan Ancaman pidana bagi pelaku yang memaksakan korban perkosaan menikah dengan pelaku tertuang dalam Pasal 10 Ayat 1 UU TPKS. Pasal 10 Ayat 1 menegaskan, setiap orang yang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, akan dipidana karena pemaksaan perkawinan. Pelaku akan dijerat dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Referensi:
UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Redaksi)