Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah WNI dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih.
Kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Kemudian, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani masa tahanan, secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jarti dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
"Karena sanksi pencabutan hak politik dicalonkan berdasar putusan pengadilan, oleh MK dianggap sudah adil sebagai jeda waktu, sehingga tidak perlu digenapi jadi lima tahun. MK menghormati putusan pengadilan yang ada," ujar Hasyim.
Atas dasar putusan tersebut, Hasyim kemudian memberikan simulasi sebagai berikut:
Mantan terpidana korupsi yang diputus pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, dan pidana tambahan pencabutan hak politik tiga tahun. Yang bersangkutan bebas murni (berstatus mantan terpidana) pada tanggal 1 Januari 2020.
Jika mendasarkan pada amar putusan MK nomor 87/PUU-XX/2022, maka jeda waktu untuk dapat dipilih harus melewati lima tahun, sehingga jatuh pada tanggal 1 Januari 2025.
Namun oleh hakim pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung, dengan putusan pidana tambahan pencabutan hak politik selama tiga tahun, maka yang bersangkutan sejak bebas murni pada tanggal 1 Januari 2020 tentunya memiliki hak untuk dipilih pada tanggal 1 Januari 2023, sehingga ketentuan jeda waktu sesuai amar putusan MK tidak berlaku pada situasi ini.