Jumat, 22 November 2024

Berikut Beberapa Catatan Perihal Polemik SMA 10 Menurut Pengamat Hukum Unmul

Kamis, 17 Juni 2021 2:17

IST

POLITIKAL.ID, SAMARINDA - Polemik pemindahan SMA 10 dari Samarinda Seberang ke Jalan Perjuangan, Samarinda turut ditanggapi pengamat hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah. Menurutnya putusan Kasasi (Nomor 64 K/TUN/2016) maupun PK (Nomor 72 PK/TUN/2017), secara tegas menolak permohonan Yayasan Melati. Artinya putusan dalam perkara ini sudah final (inkracht), yang berarti tidak ada lagi upaya hukum lainnya. "Dalam putusan Kasasi dan PK tersebut, MA setidaknya mengurai dua hal secara eksplisit, yakni, menolak permohonan Yayasan Melati, dimana menurut MA, baik secara judex facti maupun judex juris, putusan PN, PT, hingga Kasasi sudah tepat dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapannya," ujar Castro sapaannya, Kamis (17/6/2021). Lanjut dia, MA menegaskan bahwa pemegang hak pakai tanah di lokasi tersebut adalah pemprov Kaltim, sedangkan Yayasan Melati hanya bersifat pinjam pakai, karena itu, SK Gubernur Nomor 180/K.745/2014 yang mencabut status pinjam pakai Yayasan Melati itu, sudah sesuai dengan prosedur. Selain itu berdasarkan putusan Kasasi dan PK itu, semestinya Yayasan Melati yang dipersilahkan angkat kaki dari lokasi itu, bukan malah pihak SMA 10. Sebab secara hukum, pemegang hak pakai tanah adalah Pemprov Kaltim. Dalam posisi ini, seharusnya Pemprov Kaltim memberikan prioritas penggunaan lokasi dan faslitas kepada SMA 10, mengingat urgensinya sebagai sarana pendidikan. Tapi anehnya sebut dia, kenapa justru pihak Yayasan Melati yang bersikeras memindahkan sekolah dari lokasi, bahkan dengan cara yang diduga merusak fasilitas sekolah. Pengrusakan terhadap fasilitas sekolah ini dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana murni. Bisa disangkakan dengan delik pidana pengrusakan barang milik orang lain, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 406 KUHP. "Ancaman pidananya paling lama 2 tahun 8 bulan. Jadi untuk memberikan efek jera, mestinya hal ini diproses secara hukum, tidak boleh didiamkan. Sebab tiada seorangpun diperboleh merusak barang orang lain, terlebih fasilitas sekolah yang merupakan miliki publik. Mendiamkan peristiwa ini, justru akan menjadi preseden buruk kedepannya," tegasnya. Ditambahnya lagi, yang lebih aneh bin ajaib lagi adalah sikap pemprov dan jajarannya yang cenderung diam. Ini tentu sangat kita sayangkan katanya. Sebagai pemegang hak pakai tanah, harusnya pemprov mengambil alih kendali. Termasuk menghalangi serta mengambil tindakan tegas terhadap siapapun yang mencoba merusak aset dan fasilitas milik negara. Kecuali memang pemprov tidak memiliki kepedulian sama sekali terhadap perkara yang menimpa SMA 10 ini. "Oleh karena itu pemprov harus tegas dan punya keberpihakan. Sebab perkara ini tidak hanya sekedar tanah dan aset semata, tapi menyangkut masa depan pendidikan di kaltim, masa depan anak-anak kita semua," pungkas Castro menjelaskan. (*)
Tag berita:
Berita terkait