"Makannya menurut saya ini perlu ada regulasi bisa memberikan solusi," katanya.
Dia melihat, selama ini berbagai macam regulasi, baik itu UU, Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Pemerintah (PP) dan bahkan Peraturan Daerah (Perda) itu sudah mengatur untuk mengendalikan minol ini.
Artinya, regulasi itu politik hukumnya adalah mengatur dan mengendalikan, tetapi faktanya, pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan seluruh pelengkapnya itu tidak berhasil.
"Dengan bukti bahwa masyarakat dan anak-anak muda kita tidak menjadi sasaran, karena apa? Karena tidak ada suatu pengaturan yang jelas dan komprehensif," kata Bukhori.
Menurutnya, kebijakan politiknya memang melarang minol, tetapi ada pengecualian terhadap beberapa alasan.
Misalnya, alasan pariwisata khusus bagi wisatawan dari Eropa dan negara lain di hotel tertentu, alasan budaya, alasan terkait peribadatan atau keyakinan tertentu, alasan pengobatan, alasan farmasi.
Pengecualian itu akan dibuka dalam UU tersebut.
"Sebab tidak mungkin ada suatu aturan tanpa ada jalan keluar. UUD saja yang pada dasarnya pembuat UU siapa? DPR dan presiden. Tetapi, dalam kegentingan memaksa presiden bisa mengeluarkan Perppu. Itu namanya exit, sama dengan demikian. Misalnya di Papua, pemda Papua saja itu menerbitkan perda yang isinya menolak itu. Kenapa kemudian kita terlalu khawatir kalau minol ditolak lalu akan menyebabkan kerugian negara, enggak kok. Karena nilai devisanya juga sangat kecil. Tapi kerusakannya begitu besar," katanya.
Bukhori menjelaskan, dalam konteks pelarangan tentu ada sanksi karena di KUHP tidak ada sanksi terkait dengan orang yang mengkonsumsi.