Dari segi hukum, Mahfud menjelaskan, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu sudah diatur tersendiri dalam hukum.
Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahfud berujar, tidak pengadilan umum tidak memiliki kompetensi untuk menangani kasus tersebut.
“Perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” kata dia.
Poin selanjutnya, kata Mahfud, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata.
Dia menegaskan tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan PN.
Menurut UU, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya dapat dilakukan KPU untuk daerah-daerag tertentu yang bermasalah—sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
“Menurut saya, vonis PN tersebut tidak bisa dimintakan eksekusi Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara massif jika akan dieksekusi,” tutur Mahfud. “Mengapa? karena hak melakukan pemilu bukan hak perdata KPU.’
Penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol, menurut Mahfud, bukan hanya bertentangan dengan Undang-Undang.
Namun, bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.