POLITIKAL.ID – Berita Nasional yang dikutip POLITIKAL.ID tentang pendapat Menkes terkait tes Covid-19 hanya untuk suspek.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rahmad Handoyo mengkritik pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang berpendapat tes deteksi virus corona (SARS-CoV-2) seharusnya digencarkan untuk orang-orang berstatus suspek.
Selama ini menurut Budi, tes swab metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dijalani oleh orang-orang yang bepergian.
Sehingga berdampak pada kenaikan jumlah tes di Indonesia mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tapi justru tak berguna secara epidemiologi.
Namun menurut Rahmad, tes swab PCR tetap tak usah dibatasi bagi yang berstatus suspek.
Tes swab PCR bagi mereka yang merasa melakukan kontak erat dengan pasien positif Covid-19 pun tetap harus dilakukan dan tak perlu dipersoalkan.
"Untuk soal tracing kembali diperketat, saya kurang sepaham, tetap harus kita perlebar [dan] perbanyak untuk tracing, tidak sebatas suspek. Orang-orang yang merasa habis bertemu dengan siapapun yang dicurigai, tidak masalah untuk testing," kata Rahmad kepada CNNIndonesia.com, Jumat (22/1).
Pernyataan Budi bahwa strategi testing, tracing, dan treatment atau 3T yang dijalankan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 salah sasaran, menurut dia bisa dikatakan benar.
Namun bagi Rahmad, strategi itu tak bisa lantas membuat pelaksanaan tes Covid-19 hanya diperuntukkan bagi orang-orang berstatus suspek.
Pasalnya, lanjut dia, banyak pasien Covid-19 dengan status orang tanpa gejala (OTG) yang tidak mengetahui bahwa dirinya telah positif terpapar Covid-19 saat ini.
"Ada banyak orang terpapar positif tapi dia sendiri tidak tahu terpapar dari mana, habis komunikasi dengan siapa, dia merasa sudah melakukan protokol kesehatan, tapi dia OTG. Ini berbahaya," kata dia mengingatkan.
Berangkat dari itu, Rahmad pun meminta pemerintah tetap memperluas pelacakan penyebaran Covid-19. Menurut dia, pemerintah bisa berkaca dari langkah pelacakan dan tes pada libur akhir tahun 2020.
Kala itu, menurutnya, banyak ditemukan orang-orang-orang yang merasa sehat akan tetapi dinyatakan positif terpapar Covid-19 usai mengikuti tes secara acak di sejumlah tempat peristirahatan.
"Kalau tes dikembalikan hanya kepada suspek, hanya terbatas orang-orang yang merasa dirinya bertemu banyak pihak yang bisa saja positif, OTG," ucap dia.
"Habis libur tahun baru kemarin banyak orang yang ditemukan sample tracing, orang merasa sehat tapi begitu dites petugas di jalan banyak yang positif," imbuh Rahmad.
Sebelumnya, Budi mengakui selama ini strategi 3T yang dijalankan pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19, salah sasaran.
Budi menjelaskan, selama ini testing terhadap satu orang bisa dilakukan berulang kali, dengan alasan bepergian.
Karena itu kemudian jumlah tes tinggi dan sesuai standar WHO tapi tak berguna untuk pemetaan pandemi.
"Tapi enggak ada gunanya testing-nya. Secara epidemiologi, hal-hal gitu yang harus diberesin," tutur Budi dalam sebuah diskusi virtual yang ditayangkan kanal PRMN SuCi di YouTube, Rabu (20/1).
Ia mencontohkan, dirinya bisa lima kali mengikuti tes PCR swab dalam seminggu hanya untuk bertemu Presiden Joko Widodo.
"Kita itu enggak disiplin, cara testing-nya salah. Testing banyak, tapi kok naik terus, habis yang dites orang kayak saya. Setiap mau ke presiden dites," kata dia.
Karena itu menurut Budi, testing seharusnya cukup digencarkan ke orang-orang berstatus suspek. (*)
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Kritik Menkes, DPR Tak Setuju Tes Covid-19 Hanya untuk Suspek"