Minggu, 29 September 2024

Polemik IUP untuk Ormas Keagamaan, LSM hingga Praktisi Suarakan Penolakan

Ilustrasi pertambangan batu bara

Selain itu, Muhammadiyah juga telah sejak lama bergerak di bidang advokasi lingkungan hidup, salah satunya dengan membentuk Majelis Lingkungan Hidup dan Muhammadiyah Climate Center, serta menerbitkan buku yang berjudul “Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam.”

Merespon Zaki, Muhamad Isnur menyinggung soal buruknya kebijakan pemerintah soal pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan.

“Kalau kita lihat dan pelajari, apa yang dimaksud dengan ormas keagamaan? Itu tidak ditemukan penjelasannya dalam PP 25/2024. Bahkan dalam UU Ormas pun tidak diatur definisinya sehingga menjadi bias dan sangat tidak jelas dari segi peraturan. Belum lagi terkait tambang, Indonesia turut berkomitmen secara internasional untuk mulai meninggalkan kegiatan-kegiatan ekstraktif yang merusak lingkungan, seperti pertambangan batu bara, dan lainnya. Bahkan forum dunia mengakui batubara adalah sumber daya paling kotor dan “haram”. Maka, sangat aneh rasanya jika pemerintah terus memberikan izin tambang secara cuma-cuma, terlebih untuk ormas keagamaan yang secara aturan yang lebih tinggi saja tidak jelas,” pungkas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tersebut.

Pembicara selanjutnya, Herlambang Perdana Wiratraman menerangkan soal potensi dampak kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial akibat diberikannya izin tambang bagi ormas keagamaan, serta kemungkinan melanggengkannya konflik-konflik sosial yang akan terjadi di kemudian hari.

“Pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan tentu lebih besar keburukan ketimbang manfaatnya. Ormas keagamaan akan diseret ke bisnis pertambangan yang merusak lingkungan. Padahal, lingkungan hidup yang bersih dan sehat merupakan keadaaan yang semestinya dijaga dan dilestarikan, terkhusus oleh ormas keagamaan tersebut yang tentunya berpangku pada kitab-kitab ajaran agama masing-masing. Ormas keagamaan semestinya tidak boleh memikirkan kepentingan ormasnya saja, melainkan harus juga memikirkan dan menyiapkan lingkungan yang bersih dan sehat untuk generasi mendatang (intergenerational equity),” tegas Herlambang yang juga Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada ini.

Sementara itu dari kalangan Pemohon yang diwakili oleh Hema Situmorang selaku Pengkampanye JATAMNAS mengungkap soal kerugian dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraktif pertambangan ini. Ia menegaskan sampai saat ini, belum ada sama sekali kegiatan pertambangan yang tidak mengakibatkan kerugian dan kerusakan lingkungan.

“Saya pernah lama di Kalimantan Timur dan JATAM sudah banyak sekali kali mengadvokasi kasus-kasus tambang. Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan adalah melihat bagaimana kegiatan pertambangan benar-benar merusak lingkungan. Bayangkan, untuk mencari 1 gram emas saja, kita membutuhkan lebih dari 100 liter air. Dampaknya tentu warga di sekitar lingkungan tambang sangat sulit untuk mendapatkan air bersih karena akan dikooptasi oleh perusahaan tambang. Bahkan hasilnya pun tidak jarang akan mencemari air tersebut. Bukan hanya itu, kegiatan pertambangan juga seringkali menimbulkan gas beracun yang membuat udara disekitarnya tidak sehat,” jelas Hema.

Sejalan dengan Hema, sebagai salah satu Pemohon yang merupakan warga asli Kalimantan Timur, Mareta Sari menerangkan ia menyaksikan langsung bagaimana kegiatan pertambangan telah mengakibatkan banyak kerugian bagi kampung halamannya.

“Dampak dari adanya kegiatan pertambangan ini telah mengakibatkan pencemaran lingkungan, khususnya sumber air bersih bagi kampung-kampung yang tidak jauh letaknya dari tambang. Jika warga berusaha menolak tambang dan memprotes kegiatannya, tidak jarang mereka akan dikriminalisasi. Tidak hanya itu, tambang juga memicu konflik sosial di masyarakat dan keikutsertaan ormas keagamaan dalam kegiatan tambang hanya akan memperburuk hal tersebut. Sebut saja jika sebelumnya saya yang menolak tambang berhadapan dengan aparat dan pejabat ESDM, kali ini saya harus berhadapan dengan tetangga saya yang merupakan anggota dari ormas keagamaan tersebut. Karena itu, dengan diberikannya izin pertambangan kepada ormas keagamaan, maka bukan tidak mungkin konflik agraria yang disertai dengan kriminalisasi akan sering terjadi dan semakin menjadi rumit,” tutup Mareta.

Pada akhirnya, Tim Advokasi Tolak Tambang menginginkan ormas keagamaan tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan bisnis pertambangan dan berharap dapat kembali kepada tujuan semula masing-masing ormas, yakni untuk mensejahterakan ummat-nya melalui bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.

(*)

Halaman 
Tag berita:
Berita terkait