Senin, 13 Mei 2024

Ungkit Pemilu 1955, Ini Kata Waketum Golkar

Jumat, 12 Juni 2020 2:14

Wakil Ketua Umum Golkar/ pojoksatu.id

POLITIKAL.ID - Berita Nasional yang dikutip POLITIKAL.ID tentang pengurangan jumlah parpol.

Sistem presidensial akan lebih efektif jika ditopang dengan sistem multipartai sederhana, setelah sebelumnya Partai Golkar mengusulkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dinaikkan dari 4 menjadi 7 persen agar jumlah fraksi di DPR menjadi lebih sederhana.

"Sistem pemerintahan kita selama ini menganut sistem presidensial, itu akan efektif dan selaras kalau DPR menganut sistem multipartai sederhana," kata Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia kepada wartawan di Jakarta, Kamis (11/6).

Dolly ingin UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu direvisi agar bisa dipakai hingga waktu yang lebih lama.

Oleh karena itu, parliamentary threshold perlu langsung dinaikkan hingga menjadi 7 persen.

"Kami ingin agar UU ini fixed dalam waktu yang cukup panjang, tidak berubah lima tahun sekali sehingga 15 tahun atau 20 tahun sekali kita akan uji," ujarnya.

Ihwal besaran kursi per daerah pemilihan atau district magnitude, Golkar mendorong agar besarannya menjadi tiga sampai delapan untuk DPR RI dan tiga sampai 10 untuk DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

"Usulan tersebut agar kedekatan antara para wakil rakyat dengan konstituen semakin kuat karena dapil yang semakin kecil. Tanggung jawab wakil rakyat dengan daerah atau konstituennya semakin intensif," ujarnya.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan keberadaan parliamentary threshold merupakan sebuah anomali bagi negara yang berasaskan kedaulatan rakyat.

Menurutnya, berapa pun suara yang diperoleh partai, mestinya diakomodir dengan kursi di parlemen.

"Saya berpendapat kalau partai ikut pemilu, dapat 1 kursi pun tetap harus dilantik. Tahun 1955, 1 orang saja terpilih dilantik contohnya Prof Hazairin dari PIR Hazairin. Tahun 1999 juga sama, Husen Naro dari PPP (lama) tetap dilantik walau tidak bisa bikin fraksi sendiri," kata Yusril.

"Selama Orba tidak ada ambang batas, baik Pemilu 1971 (dengan banyak partai) maupun sesudahnya (hanya Golkar, PPP dan PDI)," tambahnya.

Andai ambang batas parlemen memang akan dipertahankan terus, kata Yusril, maka perlu ada opsi agar ada koalisi fraksi di parlemen.

Koalisi tersebut diisi oleh gabungan partai yang masing-masing meraih suara di bawah parliamentary threshold.

Dengan demikian, tidak ada suara yang hangus.

Tidak seperti saat Pemilu 2019 lalu, ketika PBB, PSI, Berkarya, Garuda, Perindo dan Hanura gagal meraih suara sesuai parliamentary threshold sehingga membuat 13,5 juta suara hangus begitu saja.

"Bisa ditambahkan sebagai contoh, empat partai Islam yang ikut dalam Pemilu yang lalu yaitu PKS, PAN, PPP dan PBB bisa saja dalam Pemilu mendatang membentuk sebuah koalisi, katakanlah 'Koalisi Keumatan'," kata Yusril.

Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso sepakat dengan usulan Yusril.

Perlu ada perubahan sistem pemilu agar tidak ada lagi suara rakyat yang hangus.

Sekjen Hanura Gede Pasek Suardika, Sekjen PKPI Verry Surya, Ketua Biro Hukum PSI Rian Ernest, Sekjen Garuda Abdullah Mansuri turut membicarakan itu bersama lewat video conference.

"Kami Sepakat untuk menjadikan Usulan dari Prof Yusril ini, menjadi salah satu pokok perjuangan bersama," kata Priyo. (*)

Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Golkar ingin Kurangi Jumlah Parpol, Yusril Ungkit Pemilu 1955"

Tag berita:
Berita terkait