Diananta mengucapkan apresiasi sebesar-besarnya atas solidaritas jurnalis, aktivis, serta segenap pihak yang telah mendukung dari awal kasus.
"Kesadaran kolektif dari kawan-kawan membuat saya semangat disituasi sulit seperti ini," ujarnya.
Diananta sudah dipenjara selama 3 bulan 6 hari atau sehari setelah Hari Kebebasan Pers Internasional 4 Mei 2020.
Vonis bersalah Diananta sangat disayangkan. Melihat fakta persidangan yang bergulir, seharusnya Diananta bebas karena unsur pidana yang didakwakan tidak terpenuhi.
"Putusan ini bukan hanya soal diananta, tapi juga soal kebebasan pers di Indonesia. Dan hari ini akan tercatat sebagai hari kelam bagi kebebasan pers di Indonesia," jelas Ade Wahyudin dari LBH Pers.
Melihat vonis Diananta yang hampir sama dengan masa penahanan yang sudah dijalani menunjukkan ada keraguan di benak hakim.
Bujino A Salan, Kuasa Hukum Diananta lainnya mengatakan berdasarkan keterangan ahli pidana dan pers yang sempat dihadirkan dalam persidangan, unsur yang didakwakan tidak bisa terpenuhi karena Diananta adalah seorang jurnalis.
"Seorang jurnalis mempunyai hak dan legal standing. Untuk itu profesi ini diakui oleh Dewan Pers," jelasnya.
Sampai hari ini, sebanyak 34.214 orang telah menandatangani petisi online Bebaskan Nanta #StopPidanakanJurnalis yang dirilis sejak 29 Mei 2020 di https://change.org/bebaskannanta.
Para pemetisi ini menyerukan agar jurnalis Diananta dibebaskan dari tuntutan pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 ayat 2 UU ITE.
Diananta tidak layak dihukum karena berita berjudul "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel" yang dimuat Banjarhits dan Kumparan telah selesai di Dewan Pers.