POLITIKAL.ID - Calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo mengajukan hak angket kepada DPR terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Manuver Ganjar tak cuma sampai di situ, politikus PDIP ini mendorong penggunaan hak interpelasi atau rapat kerja jika DPR tidak siap dengan hak angket.
Ganjar menegaskan, DPR tidak boleh membiarkan ketelanjangan dugaan kecurangan Pemilu 2024.
"Tapi kalau ketelanjangan ditunjukkan dan masih diam, fungsi kontrol gak ada. Kalau saya, yang begini mesti diselidiki. Dibikin pansus, minimum DPR sidang, panggil, uji petik lapangan," ungkap Ganjar Pranowo pada 15 Februari lalu.
Capres nomor urut 1, Anies Baswedan sepakat dengan usulan Ganjar Pranowo.
Anies Baswedan menilai hak angket akan membuka peluang dugaan kecurangan Pemilu 2024 dapat berproses lebih lanjut hingga DPR.
"Ketika kita mendengar akan melakukan (hak angket) kami melihat itu ada inisiatif yang baik," ucap Anies Baswedan.
Menurutnya, proses hak angket di DPR bisa dilakukan dengan adanya inisiatif tersebut.
Anies mengklaim, Koalisi Perubahan memiliki bukti-bukti yang siap disampaikan untuk mendukung proses itu.
"Kami siap dengan data-datanya dan di bawah kepemimpinan fraksi terbesar saya yakin partai Koalisi Perubahan siap untuk menjadi bagian dari itu," ujar Anies Baswedan.
Cuma gertak
Manuver Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan soal hak angket, direspons menohok oleh Profesor Jimly Asshiddiqie.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menilai hak angket dugaan kecurangan Pilpres 2024 tak memiliki cukup waktu untuk direalisasikan.
Sehingga, kata Jimly Asshiddiqie, usulan Ganjar dan Anies hanya gertakan politik saja.
"Hak angket itu kan hak, interpelasi hak angket, penyelidikan, ya waktu kita 8 bulan ini sudah nggak sempat lagi ini cuma gertak-gertak politik saja," ungkap Profesor Jimly, Rabu (21/2/2024).
Jimly menganggap tuduhan kecurangan selalu terjadi di setiap pemilu sejak tahun 2004.
Bahkan menurutnya, bukan cuma satu pasangan calon saja yang dirugikan akibat kecurangan di Pemilu 2024.
"Tapi saya berharap mudah-mudahan ya gini, setiap pemilu sejak 2004 selalu riuh, selalu seru. Nah selalu ada tuduhan kecurangan. Tapi kecurangan itu ada di mana-mana menguntungkan semua paslon. Ada kasus di sana itu menguntungkan paslon 01, ada kasus di sana itu menguntungkan paslon 02, tapi di sebelah sana ada lagi 03," ungkap Jimly Asshiddiqie.
Ia berpendapat, kecurangan dalam pemilut tidak bisa dituduh terstruktur dari atas ke bawah sesuai perintah.
"Ini kreativitas lokal sektoral ya buktinya banyak kasus yang masing-masing merugikan tiga-tiganya, nah jadi selalu dalam sejarah pemilu kita ada nih yang kayak kayak gini," ujar dia.
Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, usulan hak angket sangat tidak tepat untuk menyelesaikan persoalan kecurangan Pemilu 2024.
Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran ini menyarankan agar pihak yang kalah di pilpres seharusnya mencari penyelesaian ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya, tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ungkap Prof Yusril, Kamis (22/2/2024).
Yusril menjelaskan salah satu kewenangan MK berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, yakni mengadili perselisihan hasil pemilu, dalam hal ini pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.
Ia menilai, para perumus amendemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui MK.
Penyelesaian di MK, kata Yusril, dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan sehingga tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.
"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," ucapnya.
"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," imbuh Prof Yusril.
(REDAKSI)