Modus operandi imperialisme gaya baru sebenarnya juga gak baru-baru amat, kelompok-kelompok tersebut menyusup melalui diksi-diksi atau narasi-narasi kebijakan yang ditopang oleh para “politisi busuk” dan “bandit politik” yang di hadapan publik selalu selalu menggaungkan nasionalisme, namun fakta tindakannya sebaliknya, malah mendukung kepentingan para elite pemodal dengan harapan memperoleh keuntungan (memburu rente).
Contohnya respon sejumlah pejabat kita menyikapi viralnya tagar #KaburAjaDulu, yang oleh saya dianggap sebagai bentuk perlawanan publik menghindari pemberontakan.
Jika maraknya tagar tersebut terjadi di negara lain seperti di Timur Tengah, saya yakin pemerintahan yang memimpin bakal tumbang.
Artinya, apa, masyarakat kita masih punya rasa nasionalisme, yakni menghindari pemberontakan, tidak seperti yang dituduhkan pejabat-pejabat asbun (asal bunyi) tadi.
Sejak awal, imperialisme dengan gaya apapun tujuannya tidak pernah keluar dari fokusnya mengeksploitasi sumber daya alam dengan menguasai tenaga kerja lokal dibekingi oleh “kejahatan kebijakan” menopang ekspansi itu.
Antara imperialisme dan kapitalisme desainnya satu tarikan nafas.
Seperti pernah dikemukakan John Perkins dalam bukunya “The Economic Hitman,” dia menyebut dalam bukunya tentang teori Imperium, yang menggambarkan bahwa Imperialisme dan Kapitalisme adalah Imperium (sistem kekuasaan).
Kekuasaan tersebut dipimpin oleh seorang penguasa/raja yang memiliki kendali atas pemerintahan dan media.
Mereka selalu bergerak di wilayah pemerintahan dan bisnis, mendanai kampanye politik dan media dan mampu bermain pada tataran lokal, regional dan global.
Persekongkolan “oligarki” inilah membuat mereka yang tidak dipilih oleh rakyat, tidak ada batas masa jabatannya berperan dominan.