Seharusnya gubernur kata dia lagi, mesti melihat dirinya hanya sebatas administrasi atau formalitas belaka dan jauh dari kata desentralisasi kekuasaan untuk mengelola secara berdaulat untuk seluruh wilayahnya.
Kembali Buyung menjelaskan, dari evaluasi belanja 2020 pemrov Kaltim, belanja birokrasi lebih banyak dibanding belanja yang lainnya.
Namun hasilnya dari belanja itu digunakan untuk apa saja. Padahal menurutnya masyarakat sedang dilanda virus mematikan yakni, Covid-19 yang berdampak pada pembatasan gerak masyarakat.
Padahal soal penanggulangan covid - 19 sudah ada bantuan dan talangan tersendiri dari pusat berdasarkan refucusing pemda untuk masyarakat kaltim.
Selain itu penetapan pembatasan sosial jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan mengambang dan latah. Kendati Kaltim kasus jumlah kematiannya terbilang besar namun kurang tepat jika kebijakan langsung new normal, seharusnya bertahap sesuai situasi dan kondisi kekinian.
"Dana yang digelontorkan sebesar Rp 338 miliar penanganan covid - 19 belum ada laporan realisasi dan capaiannya," bebernya.
Selain itu persoalan yang menjadi perhatian lain adalah misalnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kaltim dan, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil (RZWP3K).
Cendrung kata dia, masyarakat disekitar pesisir utamanya nelayan Kaltim tidak dilibatkan dalam raperda tersebut. Hanya beberapa masyarakat dilibatkan itupun sebut Buyung sebagai formalitas, hanya dipilih pempov kaltim saja tanpa bisa memberikan solusi konkrit.
"Jadi raperda itu tidak melibatkan masyarakat terdampak dari produk kebijakan raperda zonasi pesisir, padahal nelayan sekarang ini jangkauan melaut harus lebih jauh untuk mendapatkan banyak hasil laut," bebernya.