Namun, disahkannya PP tersebut menimbulkan pro dan kontra bagi sebagian orang.
3 LSM dan 1 institusi akademi nasional yakni Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MaPPI), Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan bahwa PP tersebut mengabaikan hak asasi pelaku dan belum terbukti efektif dalam menekan angka kekerasan seksual.
"Kebiri kimia belum terbukti menekan angka kekerasan seksual, dan hukuman kebiri tidak menyasar akar permasalahan terhadap anak," ucap ICJR dalam kajian Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) bagi Pelaku Kejahatan Seksuan Anak di Indonesia pada Februari 2016.
Ketua ICJR Erasmus A.T Napitupulu, menilai bahwa aturan perlindungan korban lebih penting daripada PP ini. Sebab, pemerintah belum memiliki peraturan komperhensif terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
"Aturan pemulihan korban kekerasan seksual tersebar dan berbeda-berbeda. Perlu ada satu UU baru yang dapat merangkum dan menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban (RP2K) atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)," ucapnya seperti yang dilansir Narasi Newsroom, Februari 2016. (001)