Terpisah ditemui dilokasi aksi IWD bundaran taman Samarendah (Eks Jalan Milono) Putri Kalua dalam momentum hari perempuan sedunia menyerukan untuk melawan segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual.
Selain itu mengusut tuntas kasus kematian anak di lubang tambang sebagai bukti memberikan keadilan kepada ibu.
Dampak kerusakan ekologi juga disebut Mahasiswi Fisip, Unmul itu berakibat terhadap kebutuhan dapur turut tercemar dan penurunannya kondisi kesehatan tak hanya perempuan namun juga seluruh masyarakat.
"Hal yang juga mendesak adalah mensahkan RUU PKS menjadi UU sebagai payung hukum kepada perempuan," ungkap Putri sapaannya.
Ditambahnya lagi, kekerasan dan pelecehan seksual dalam lembaga pendidikan dan ruang kerja wajib menjadi perhatian penegak hukum dan tidak mengangap remeh persoalan itu.
Hal ini mengingat kerapnya pernyataan penegak hukum di luar kontek yang seolah mendiskriditkan aktivitas perempuan yang disebutnya menjadi korban dari pelaku kejahatan." cukup sulit mendapat keadilan.
Dengan begitu kami sadar, dukungan dari solidaritas elemen masyarat jauh lebih penting untuk memperjuangkan tuntutan keadilan, ekonomi, politik," bebernya.
Perayaan dengan pelbagai ekpresi beragam itu dilaksanakan pada tanggal 8 Maret 2020 itu bukan tanpa alasan pada tanggal 8 Maret 2020.
8 Maret adalah kalender tanggal yang tidak biasa bagi aktivis perempuan pro demokrasi sejagat, momentum itu kerap digunakan pejuang kesetaraan turun ke jalan menuntut kemerdekaan.
Perayaan itu sebelumnya bermula dari buruh perempuan yang bekerja di pabrik tekstil berdemonstrasi pada 8 Maret 1857 di New York, Amerika Serikat.
Unjukrasa (Unras) itu bertujuan untuk melawan upah buruh yang rendah, namun demonstrasi tak berjalan lancar dan dibubarkan secara paksa pihak kepolisian.
Kemudian pada tanggal 8 Maret 1907 hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai peringatan terhadap kasus pembubaran tersebut.
Era industrialisasi itu berbanding lurus dengan banyaknya penyerapan tenaga kerja baik laki - laki dan perempuan. Pusat industri menjelma menjadi Kota yang kemudian, menarik penduduk Desa untuk mendapat kehidupan yang layak.
Sejarah kembali mencatat, IWD pertama kali digelar sebagai perayaan nasional di New York pada 28 Februari 1909.
Sejumlah negara Eropa merayakannya pada 8 Maret pada 1914 untuk mendukung perjuangan kaum perempuan dengan membangun solidaritas dimana disaat bersamaan, gerakan perempuan turut menolak perang dunia pertama.
Bagaimana tidak, peran ganda sebagai buruh dan ibu rumah tangga terpaksa dilakoni lantaran para suami diwajibkan ikut maju di medan perang dunia. Bahkan tak sedikit perempuan kehilangan suami dan anaknya.
Perang semakin berkecamuk, walhasil produksi buruh pun semakin ditingkatkan pada masa perang. Bukannya kesejahteraan, kondisi buruh perempuan semakin melarat. Unjukrasa dan mogok kerja semakin masif dilakukan, tak ada kesejahteraan dalam kecamuk perang membuat perempuan tak hanya menuntut pemenuhan ekonomi, lebih dari itu, gerakan perempuan mulai terjun dalam ruang politik. Kemudian berlanjut di Uni Soviet, Hari Perempuan dijadikan sebagai hari libur pada tahun 1965.
IWD itu berlanjut kepada pengakuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menjadi perayaan global 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional pada tahun 1975. Pada 8 Maret 2020, IWD tetap menjadi momen menyuarakan tuntutan politik perempuan terlebih di Kota Samarinda. (Redaksi Politikal.id)